Sabtu, 15 Oktober 2011

Gadis Jeruk (Resensi Buku)


Judul : Gadis Jeruk
Penulis : Jostein Gaarder
Penerjemah : Yuliani Lupito
Penerbit : Mizan Pustaka
Cetakan : Juli 2011 (Gold Edition)
Tebal : 256 hlm 

Bagaimana perasaan kita jika tiba-tiba saja kita menerima surat dari ayah kita yang telah meninggal dunia belasan tahun yang lalu? Tentunya hati kita akan diliputi keharuan dan penasaran apa yang sebenarnya ingin disampaikan ayah kita dalam suratnya itu.

Itulah yang dialami Georg Roed, seorang remaja berusia 15 tahun yang tinggal bersama ibu, ayah, dan adik tirinya di Oslo - Norwegia. Surat yang ditulis ayahnya sebelas tahun yang lampau itu ditemukan secara tidak sengaja oleh nenek Georg di kereta kereta bayi yang dulu dipakai Georg

Surat panjang yang diketik rapih dengan komputer oleh ayahnya itu didasari oleh pemikiran bahwa ia takkan sempat membicarakan masalah kehidupan dengan Georg yang saat itu baru berusia 4 tahun. Sebagai seorang dokter, Ayahnya (Jan Olav) tahu bahwa hidupnya tak akan lama lagi karena penyakit yang dideritanya. Dan surat itu sengaja diselipkan olehnya di kereta bayi milik Georg dengan harapan suatu saat akan ditemukan dan dibaca oleh Georg ketika ia sudah beranjak dewasa.

Melalui surat 'wasiat' ayahnya yang berkisah tentang masa mudanya ini maka terjadilah interaksi antara masa lalu sang ayah dan sang anak di masa kini. Dalam suratnya itu Jan Olav berkisah bahwa di masa mudanya ia berjumpa dan jatuh cinta pada seorang gadis misterius yang membawa banyak buah jeruk.

Perjumpaan Jan Olav dengan si gadis jeruk adalah ketika ia melihat seorang gadis yang membawa sekantung penuh jeruk dalam trem yang ia naiki. Saat melihat jeruk yang dipegangnya itu hendak jatuh, Jan Olav berusaha menolongnya, namun kecerobohannya justru membuat seluruh jeruk yang dibawa si gadis itu berjatuhan, hal ini membuat si Gadis Jeruk marah, lalu turun dari trem dan meninggalkannya.

Setelah kejadian itu, Gadis Jeruk tak bisa lepas dari ingatannya, Jan Olav menjadi terobsesi untuk bertemu kembali dengan si gadis jeruk, satu hal yang sulit karena dia tak mengenal siapa nama si gadis jeruk dan dimana ia tinggal. Sebuah kebetuhan akhirnya mempertemukan Jan Olav dengan Gadis Jeruk di sebuah kafe, seperti perjumpaan pertamanya si gadis jerukpun saat itu sedang membawa sekantung jeruk. Pertemuan inipun cukup singkat, belum sempat Jan Olav menanyakan identitasnya gadis jeruk pun kembali pergi meninggalkannya.

Kejadian ini membuat Jan Olav semakin penasaran dan kembali mencari jejak si Gadis Jeruk. Ia bertanya-tanya dalam hatinya mengapa si gadis jeruk selalu membawa sekantong jeruk. Pola pikir seorang dokter yang melekat padanya membuat ia melakukan analisis-analisis untuk menjawab pertanyaan tersebut, tak hanya itu ia juga mengunjungi tempat-tempat yang mungkin disinggahi oleh si Gadis Jeruk dengan harapan akan kembali bertemu dengannya. Pencariannya ini dilakukan tanpa kenal lelah, menembus batas negaranya hingga akhirnya menghantarnya ke perkebunan jeruk di Sevilla Spanyol.

Dalam novel Gadis Jeruk yang terbit pertama kali pada tahun 2003 di Norwegia dengan judul Appelsinpiken ini seperti biasa Jostein Gaarder menghadirkan materi filsafat dalam ceritanya. Gaarder masih setia dalam model penceritaannya yang menghadirkan kisah dalam kisah melalui media surat.

Seperti juga yang menjadi ciri khas dalam setiap karya-karyanya, Gaarder juga selalu menelusupkan tambahan pengetahuan baru diluar materi filsafatannya, kali ini adalah tentang Teleskop Hubble, teleskop ruang angkasa pertama yang juga disebut "mata semesta". Sebuah teleskop yang untuk pertama kalinya berhasil mengambil ribuan foto galaksi dan nebula yang berjarak beberapa juta tahun cahaya dari Bima Sakti dengan sangat jelas. Teleskop ini diluncurkan ke orbitnya dari pesawat ruang angkasa Discovery pada tahun 1990.

Lalu apa hubungan teleskop Hubble dengan kisah Gadis Jeruk? Dengan piawai Gaarder membuat pembacanya penasaran untuk terus menelusuri pencarian Jan Olav lengkap dengan romantismenya dalam mengungkap misteri siapa Gadis Jeruk itu sesungguhnya. Melalui teleskop Hubble dan Gadis Jeruk novel ini pada akhirnya membawa pembacanya pada sebuah perenungan tentang alam semesta hingga pada pertanyaan filosofis tentang makna hidup, takdir, kesempatan, dan pilihan hidup.

Melalui suratnya yang berisi kisah cinta dan petualangannya mencari gadis jeruk Jan Olav mencoba membangun kesadaran anaknya bahwa kehidupan yang dialami manusia itu bagaikan sebuah dongeng yang memiliki akhir. Karena bukankah tak ada satupun dongeng yang tak memiliki akhir?

“Dongeng hebat apakah yang sedang kita jalani dalam hidup ini? Dan yang masing-masing dari kita hanya boleh mengalaminya untuk waktu yang singkat? Mungkin teleskop ruang angkasa akan membantu kita untuk mengerti lebih banyak tentang hakikat dongeng ini suatu hari. Barangkali di luar sana, di balik galaksi-galaksi, terdapat jawaban apa sebenarnya manusia itu.” (hal 177)

Seperti sebuah dongeng memiliki aturannya sendiri dimana semua peran dan kisahnya telah dituliskan untuk menuju sebuah akhir kisah yang diinginkan penulisnya, maka dalam kehidupanpun setiap peristiwa yang kita alami bukanlah sebuah kebetulan belaka melainkan memiliki maksud dan sebab akibat tersendiri.

Terkait dengan hidup yang singkat yang harus dialami manusia, dan apa yang dialami Jan Olav yang sadar bahwa hidupnya tak akan lama lagi berakhir karena sakit yang dideritanya, maka di lembar-lembar terakhir suratnya ia memberikan sebuah pertanyaan filosofis pada anaknya,

“Apa yang akan kamu pilih seandainya kamu punya kesempatan untuk memilih? Akankah kamu memilih hidup yang singkat di bumi kemudian dicerabut lagi? Atau, apakah kamu akan berkata tidak, terima kasih? Kamu hanya dua pilihan ini. Itulah aturannya. Dengan memilih hidup, kamu juga memilih mati.” (hal 206)

“Kamu tidak tahu kapan kamu akan dilahirkan, tidak juga berapa lama kamu akan hidup,…Yang kamu ketahui hanyalah bahwa, jika kamu memilih untuk hadir di tempat tertentu di dunia ini, kamu juga harus meninggalkannya lagi suatu hari dan pergi meninggalkan segalanya.” (hal 233)

Rasanya sulit sekali bagi Georg Roed yang baru berusia 15 tahun untuk menjawab pertanyaan filosofis tersebut, namun toh akhirnya ia bisa menentukan pilihannya.

Banyak kalangan yang menilai Gadis Jeruk adalah karya Gaarder yang lebih ringan dibanding karya-karya lainnya (Dunia Sophie, Solitare Mysteri. dll). kisah dalam novel ini memang tampak lebih sederhana dan bersajaha, namun novel ini tetapmenyisakan sebuah perenungan yang dalam tentang makna hidup, takdir, dan alam semesta.

Memang tak ada konflik yang mencuat yang dihadirkan Gaarder dalam novelnya ini, dan itu bisa sedikit membuat pembacanya merasa jenuh. Namun pembaca yang sabar tentunya tak akan begitu saja meninggalkan novel ini, karena semakin mendekati akhir kisah akan ada banyak makna kehidupan yang kita peroleh dalam sudut pandang yang berbeda.

Ketika kisah Gadis Jeruk selesai kita baca, kini giliran kita yang harus menjawab pertanyaan Jan Olav pada anaknya. " Akankah kamu memilih hidup yang singkat di bumi kemudian dicerabut lagi? Atau, apakah kamu akan berkata tidak, terima kasih?" (hal 206)

Jika kita pada akhirnya memilih untuk untuk hidup singkat di bumi ini, maka pertanyan selanjutnya adalah :

"Jika hidup itu bagaikan sebuah dongeng singkat yang harus berakhir dan kita harus pergi meninggalkan segalanya, maka dalam kehidupan yang singkat ini apa yang harus kita kerjakan?"

0 komentar:

Posting Komentar